Luka dan Hati di Desa Tepian Hutan

Kabut pagi masih menyelimuti Desa Tepian Hutan ketika dr. Arini menyeberangi jembatan kayu yang reyot, menuju puskesmas kecil tempat ia bertugas. Sudah tiga tahun sejak ia memutuskan meninggikan kehidupan kota sebagai dokter spesialis demi mengabdi di pelosok. Banyak yang menyebutnya bodoh, tapi bagi Arini, panggilan hati tak pernah bisa dibohongi.  

Hari itu, puskesmas ramai oleh pasien. Seorang ibu muda, Sari, datang dengan anaknya yang demam tinggi. "Dok, tolong anak saya... Dia panas sejak kemarin," rintih Sari dengan mata berkaca-kaca. Arini segera memeriksa. Dugaan kuat: malaria. Tapi stok obat terbatas, dan persediaan dari kota belum datang karena jalan terputus oleh longsor.  

Konflik pertama muncul ketika Pak Kades, Hendro, mendatangi puskesmas. "Dokter, kenapa tidak ada tindakan cepat? Anak-anak terus sakit!" hardiknya. Arini menahan napas. "Saya butuh bantuan Bapak untuk mengkoordinasi warga membersihkan genangan air yang jadi sarang nyamuk," jawabnya tenang. Tapi Hendro hanya menggerutu, "Itu kan tugas dokter!"  

Seminggu kemudian, wabah diare melanda. Arini bekerja hampir tanpa tidur. Suatu malam, saat ia kelelahan, seorang lelaki paruh baya dibopong masuk—Pak Darso, sesak napas dan pucat. Tekanan darahnya sangat tinggi. Arini tahu, ia butuh rujukan ke rumah sakit kota. Tapi hujan deras membuat jalan lumpuh. Mobil ambulans desa pun rusak.  

Dengan jantung berdebar, Arini memutuskan untuk membawa Pak Darso menggunakan motor bututnya. Di tengah jalan, ban motornya pecah. Ia hampir menyerah, tapi tangisan anak Pak Darso yang berusia 8 tahun menguatkannya. "Tolong, Dok, Ayah saya jangan sampai..."  

Dengan bantuan warga yang akhirnya turun tangan, mereka menggotong Pak Darso hingga ke jalan besar dan menumpang mobil pick up. Berkat usaha itu, nyawa Pak Darso selamat.  

Pulang ke desa, Arini dihadapkan pada kenyataan pahit: puskesmas diambang kehabisan obat lagi. Namun, kali itu, Pak Kades Hendro datang dengan segenggam uang dari iuran warga. "Maafkan saya, Dokter. Kami sadar, kau sudah berjuang sendirian terlalu lama," katanya.  

Air mata Arini meleleh. Perlahan, warga mulai bergotong royong: membersihkan selokan, mendirikan posko kesehatan, bahkan belajar pertolongan pertama darinya.  

Di bawah sinar bulan, Arini tersenyum. Ia tahu, perjuangannya belum selesai. Tapi kini, ia tak lagi sendiri. **Pengabdian memang tak pernah mudah, tapi di situlah arti sejati seorang dokter: hadir di saat dunia mereka gelap, dan menyalakan lentera harapan.

Add new comment

CAPTCHA
This question is for testing whether or not you are a human visitor and to prevent automated spam submissions.
5 + 3 =
Solve this simple math problem and enter the result. E.g. for 1+3, enter 4.