Ketika Semua Jalan Tertutup, Langit Masih Terbuka

Di sebuah sudut kota yang ramai, hidup seorang pria bernama Fadli. Ia seorang pengusaha kecil yang merintis usahanya dari nol. Awalnya, bisnis kuliner yang ia bangun berkembang pesat. Pelanggan berdatangan, omzet naik, dan hidup terasa bersyukur.

Namun pandemi datang tanpa permisi. Dalam hitungan bulan, usahanya limbung. Tabungan terkuras, hutang menumpuk, dan karyawan satu per satu pamit karena tak sanggup bertahan. Fadli mencoba segalanya—pinjaman, kolaborasi, bahkan menjual barang-barang pribadi—namun tetap saja usahanya makin terpuruk.

Hingga suatu malam, ia terduduk di musala kecil dekat rumah. Dengan mata sembab, ia berkata lirih dalam doa, “Ya Allah, aku sudah coba semua cara, tapi semua jalan tertutup. Kalau memang ini harus berakhir, tunjukkan hikmahnya. Tapi kalau Engkau masih ridha aku berjuang, bukakan satu saja jalan.”

Esok harinya, tak ada keajaiban instan. Tapi entah mengapa, Fadli merasa lebih tenang. Di tengah keputusasaan, datang pesan dari seorang pelanggan lama yang menanyakan apakah Fadli bisa menyediakan makanan untuk acara komunitas sosial. Jumlahnya besar, tapi sistem pembayarannya bisa diatur.

Fadli menerima. Dari satu pesanan itu, datang lagi pesanan-pesanan lain. Komunitas itu ternyata punya jejaring luas, dan Fadli kembali dikenal. Tapi kali ini bukan sebagai pengusaha besar, melainkan sebagai pengusaha yang peduli, yang mengutamakan cita rasa dan kejujuran.

Bisnisnya tidak kembali sebesar dulu, tapi cukup untuk hidup dengan layak dan penuh makna. Fadli paham sekarang: saat semua jalan tertutup, Allah tidak selalu memberikan jalan keluar yang kita bayangkan. Kadang, Dia membuka jalan baru yang tak pernah kita pikirkan.

Add new comment

CAPTCHA
This question is for testing whether or not you are a human visitor and to prevent automated spam submissions.
6 + 3 =
Solve this simple math problem and enter the result. E.g. for 1+3, enter 4.