Pelajaran dari Partnership dalam Bisnis

Awalnya, semua tampak sempurna. Reza dan Dimas, dua sahabat lama yang bertahun-tahun bekerja di dunia korporasi, akhirnya memutuskan untuk keluar dari zona nyaman dan membangun bisnis bersama. Mereka membuka sebuah coffee shop di sudut kota Bandung—tempat yang sedang naik daun, penuh anak muda kreatif dan turis lokal. Konsepnya sederhana tapi kuat: kopi lokal premium dengan nuansa industrial yang hangat.

Di bulan-bulan pertama, semuanya berjalan lancar. Reza yang memiliki latar belakang di pemasaran fokus membangun branding dan promosi di media sosial. Dimas, si mantan finance manager, menangani operasional dan keuangan. Peran mereka jelas, dan saling melengkapi. Coffee shop mereka mulai dikenal, omzet naik perlahan, dan mereka mulai merencanakan cabang kedua.

Namun seperti banyak kisah bisnis lainnya, tantangan tidak datang dari luar—tapi dari dalam. Ketika mereka mulai membicarakan ekspansi, perbedaan visi yang selama ini tersembunyi mulai mencuat.

Dimas ingin bermain aman: memperkuat satu gerai dulu, menstabilkan cash flow, dan menunggu sampai mereka punya modal lebih besar. Reza sebaliknya, berambisi besar. Ia sudah menjalin relasi dengan investor dan ingin segera membuka dua cabang sekaligus, mumpung brand mereka sedang naik daun.

Diskusi demi diskusi berubah jadi perdebatan. Reza merasa Dimas terlalu konservatif dan lamban. Dimas merasa Reza ceroboh dan terlalu berani mengambil risiko. Dan tanpa disadari, hubungan mereka yang dulu dibangun atas dasar kepercayaan mulai retak karena saling curiga. Dimas merasa keputusan penting terlalu sering dibuat tanpa persetujuannya. Reza merasa dikekang oleh angka-angka dan laporan yang kaku.

Suatu malam, saat mereka menutup toko, perdebatan kecil tentang harga menu berubah menjadi argumen besar. Kalimat terakhir yang diucapkan Reza malam itu terus terngiang di kepala Dimas: "Mungkin kita memang nggak cocok bisnis bareng, Mas. Teman baik belum tentu partner bisnis yang baik."

Beberapa minggu setelah itu, mereka sepakat duduk bersama—bukan sebagai sahabat, tapi sebagai profesional. Dengan bantuan seorang mediator bisnis, mereka menyusun ulang struktur kepemilikan, membagi porsi kerja, bahkan membuka opsi untuk buy-out sebagian saham. Meskipun keputusan itu berat, mereka sadar: menyelamatkan bisnis kadang berarti merelakan sebagian peran, dan menyelamatkan persahabatan kadang berarti mundur selangkah.

Kini coffee shop mereka tetap berdiri, meski hanya Reza yang mengelolanya. Dimas memulai proyek baru di bidang keuangan. Mereka masih berteman, meski tak lagi setiap hari bersama. Tapi dari kisah itu mereka belajar satu hal penting: dalam bisnis, chemistry saja tidak cukup. Harus ada komunikasi, transparansi, dan yang paling utama—kesepakatan yang jelas sejak awal.

Add new comment

CAPTCHA
This question is for testing whether or not you are a human visitor and to prevent automated spam submissions.
5 + 0 =
Solve this simple math problem and enter the result. E.g. for 1+3, enter 4.