Menghitung Efektivitas Biaya dalam JKN
Pagi itu, ruang rapat di kantor BPJS Kesehatan mulai dipenuhi. Di meja bundar, hadir para pengambil keputusan, analis kebijakan, dan perwakilan dari Komite HTA Nasional. Topik hari ini bukan main: apakah terapi baru untuk penyakit jantung kronis yang sedang diajukan masuk ke dalam paket manfaat JKN, layak untuk dibiayai secara nasional?
Seorang analis muda, Lila, membuka laptopnya. Ia diminta mempresentasikan analisis cost-effectiveness dari terapi baru bernama CardioPlus, yang diklaim dapat menurunkan angka rawat inap dan komplikasi penyakit jantung.
“Baik,” kata Lila sambil menampilkan grafik di layar, “kami telah membandingkan CardioPlus dengan terapi standar saat ini. Mari kita lihat dari sisi biaya dan manfaat kesehatan.”
Ia menjelaskan bahwa setiap pasien yang menggunakan terapi standar saat ini menghabiskan biaya sekitar Rp6 juta per tahun. Sedangkan dengan CardioPlus, biayanya melonjak menjadi Rp15 juta per tahun.
Namun dari sisi manfaat, CardioPlus memberikan tambahan harapan hidup sebesar 0,3 QALY (Quality-Adjusted Life Year) per pasien. Artinya, pasien hidup lebih lama dan lebih sehat selama periode itu.
Kemudian Lila menunjukkan angka kunci:
> ICER (Incremental Cost-Effectiveness Ratio) = (Biaya CardioPlus – Biaya terapi standar) / (QALY CardioPlus – QALY standar) = (Rp15 juta – Rp6 juta) / (0,3 QALY – 0 QALY) = Rp30 juta per QALY
Ruang rapat mulai bergumam. “Tapi angka ini tinggi,” ujar seorang pejabat pembiayaan. “Berapa batas cost-effectiveness yang kita anggap layak?”
Lila menjawab tenang, “Menurut pendekatan WHO, batasnya adalah 1–3 kali GDP per kapita. Dengan GDP per kapita Indonesia sekitar Rp70 juta, maka intervensi dengan ICER di bawah Rp210 juta per QALY masih dianggap cost-effective.”
“Jadi Rp30 juta per QALY itu tergolong efisien?” tanya direktur manfaat. Lila mengangguk. “Betul. Bahkan sangat cost-effective jika dibandingkan dengan batas WHO. Tapi tentu kita tidak hanya bicara angka—apakah sistem mampu menanggungnya? Berapa jumlah pasien sasaran? Apakah layanan ini menggantikan layanan lain yang lebih mahal?”
Diskusi berlanjut. Mereka menghitung beban fiskal bila terapi ini diterapkan untuk 100.000 pasien, dan bagaimana dampaknya terhadap sustainability dana JKN. Namun setidaknya, diskusi pagi itu tidak lagi mengandalkan intuisi atau tekanan opini—mereka memulai dari angka, dari data, dari dasar ilmiah yang kuat.
Di akhir rapat, keputusan belum diambil. Tapi satu hal menjadi jelas bagi semua: mengukur cost-effectiveness bukan lagi pilihan, melainkan keharusan, demi menjaga sistem JKN tetap adil, berkelanjutan, dan berdampak.
PT. Ligar Mandiri Indonesia
Perum Pondok Pakulonan
Blok H6 No. 7 Alam Sutera Tangerang Selatan
HP.
0857 1600 0879
Email : Bpcreator02@gmail.com
© 2025 - Ligar Mandiri Consulting - Menuju Rumah Sakit Kelas Dunia
Add new comment