Pengalaman sebagai konsultan pendamping untuk Standar akreditasi Program Nasional
Pagi itu hujan turun rintik-rintik saat saya tiba di Rumah Sakit Permata Ibu, sebuah rumah sakit tipe C yang tengah bersiap menghadapi survei akreditasi. Saya dijadwalkan untuk mendampingi mereka secara khusus dalam standar Program Nasional—bab yang sering dianggap "mudah" karena sudah menjadi bagian dari rutinitas layanan. Namun, saya tahu dari pengalaman, justru karena dianggap rutinitaslah, standar ini sering terabaikan dalam pelaksanaannya secara sistematis.
Ketika saya memulai telusur dokumen, sekilas semua tampak lengkap—formulir deteksi TB, HIV, skrining IMS, layanan gizi, hingga pencatatan imunisasi. Tapi semakin dalam saya menelusuri, saya menemukan sesuatu yang membuat saya gelisah: program-program ini berdiri sendiri-sendiri, berjalan seolah tanpa napas yang sama. Tidak ada integrasi, tidak ada evaluasi lintas unit, dan yang paling krusial, tidak ada sense of urgency.
Dalam sebuah rapat evaluasi, saya mencoba memantik diskusi. “Bagaimana tindak lanjut pasien positif TB yang ditemukan di IGD?” Kepala pelayanan hanya mengangkat bahu. “Itu wewenang Puskesmas, Bu. Kami hanya laporkan.” Lalu saya tanya lagi, “Apakah pasien HIV yang terdeteksi mendapat konseling lanjutan di sini?” Dan kali ini petugas laboratorium berkata pelan, “Kami rujuk, tapi ya... biasanya nggak kami pantau lagi.”
Saya bisa merasakan bahwa di balik data yang rapi, ada jarak emosional yang cukup besar antara petugas dan esensi program nasional itu sendiri. Ini bukan soal kelengkapan form, ini soal nyawa yang terlupakan.
Hari berikutnya, saya minta izin untuk ikut serta dalam skrining rutin di poliklinik umum. Di sana saya bertemu dengan seorang ibu muda yang datang untuk periksa kehamilan. Tak satu pun petugas menanyakan status imunisasi TT atau memberikan konseling tentang HIV. Setelah ibu itu keluar, saya tanya kenapa skrining tidak dilakukan. Jawaban mereka polos, “Lupa, Bu. Antrian lagi panjang.”
Saya tahu bahwa untuk mengubah sesuatu, saya tidak bisa mulai dari tuntutan. Saya harus mulai dari kesadaran. Maka saya kumpulkan semua petugas yang terlibat dalam program nasional—dokter umum, bidan, petugas gizi, petugas laboratorium, hingga bagian rekam medis—dan saya putarkan video sederhana tentang bagaimana satu pasien HIV positif yang tak terdeteksi bisa berdampak pada dua nyawa: ibu dan bayi. Saya tunjukkan data nasional, lalu saya tutup dengan satu kalimat: “Angka-angka ini bukan statistik. Ini adalah manusia yang sempat duduk di ruang tunggu kita.”
Itu menjadi titik balik.
Kami mulai menyusun alur skrining terpadu. Bukan hanya form checklist, tapi juga SOP lintas unit yang mengalir. Kami aktifkan peran petugas gizi untuk mengintegrasikan program stunting dan anemia. Kami ajak tim laboratorium dan farmasi untuk mengkaji efektivitas rujukan pasien TB dan HIV. Bahkan, petugas pendaftaran kami latih untuk bisa mengidentifikasi siapa yang wajib diskreening dari awal.
Namun, tantangan tidak hilang begitu saja. Di satu titik, ada kabar bahwa salah satu pasien positif HIV yang dirujuk dari rumah sakit ternyata meninggal karena tidak ditindaklanjuti di faskes lanjutan. Itu menjadi pukulan telak bagi tim. Saya duduk bersama mereka dalam keheningan yang berat. “Apakah ini kesalahan kita?” tanya salah satu bidan. Saya jawab, “Bukan. Tapi ini jadi alasan kenapa kita tidak boleh lagi hanya mengisi form. Kita harus jaga pasien sampai betul-betul aman.”
Menjelang hari survei, kami lakukan simulasi telusur pasien program nasional. Saya lihat sendiri bagaimana petugas kini tidak hanya menjawab karena hafal, tapi karena paham. Mereka bisa menjelaskan alur, menunjukkan data, dan yang terpenting—memiliki kepedulian yang nyata.
Surveior pun mencatatnya sebagai kekuatan: "RS telah mengintegrasikan program nasional lintas unit dengan pendekatan kolaboratif dan fokus pada kesinambungan layanan."
Saat saya pamit dari rumah sakit itu, kepala pelayanan menghampiri saya dan berkata, “Bu, sekarang kami sadar, program nasional itu bukan hanya milik dinas atau puskesmas. Tapi tanggung jawab kita juga. Karena pasien datang ke sini, dan kadang, ini satu-satunya kesempatan kita untuk menyelamatkan mereka.”
Dan bagi saya, sebagai konsultan, tak ada pencapaian yang lebih berharga dari melihat kesadaran itu tumbuh—bukan karena akreditasi, tapi karena rasa tanggung jawab yang sebenarnya.
PT. Ligar Mandiri Indonesia
Perum Pondok Pakulonan
Blok H6 No. 7 Alam Sutera Tangerang Selatan
HP.
0857 1600 0879
Email : Bpcreator02@gmail.com
© 2025 - Ligar Mandiri Consulting - Menuju Rumah Sakit Kelas Dunia
Add new comment