Tata Kelola akreditasi Klinik Melati

Dulu, Klinik Melati hanyalah klinik pratama kecil di pinggiran kota. Pasien datang dan pergi, sebagian puas, sebagian mengeluh dalam diam. Tidak ada SOP yang jelas, staf bekerja sebisanya, dan pimpinan lebih sering sibuk mengurus operasional harian daripada memimpin arah klinik. “Yang penting jalan,” kata Bu Rini, manajer sekaligus apoteker yang merangkap banyak peran.

Namun, semuanya berubah ketika suatu hari, Klinik Melati mendapat surat pemberitahuan: klinik harus melakukan akreditasi dalam waktu enam bulan. Awalnya, kabar itu disambut dengan panik. “Apa itu akreditasi?” “Harus mulai dari mana?” “Kita gak punya dokumen, gak ada struktur jelas!” Suasana di klinik pun mulai memanas.

Bu Rini merasa sendiri. Ia mencoba menyusun struktur organisasi yang belum pernah dibuat sebelumnya. Selama ini, semua hanya berdasarkan kebiasaan. Tidak ada uraian tugas, tidak ada rapat rutin, apalagi rencana kerja tahunan. Semua dikelola secara reaktif—kalau ada masalah, baru dicari solusi.

Merasa kewalahan, Bu Rini akhirnya mengajak dr. Andi—dokter penanggung jawab klinik—untuk duduk bersama dan membahas masa depan. “Pak, kita gak bisa terus begini. Kita butuh struktur. Kita butuh sistem.” dr. Andi, yang awalnya tidak terlalu terlibat, mulai tersentuh. Ia melihat betapa klinik ini butuh arah, bukan hanya sekadar berjalan.

Mereka mulai perlahan: menyusun struktur organisasi, menetapkan job description, dan membuat visi-misi klinik bersama seluruh staf. Mereka mengadakan rapat internal mingguan, mulai menyusun rencana strategis sederhana, dan mendokumentasikan proses pelayanan medis dan penunjang.

Suatu hari, perawat Dinda—yang awalnya hanya mengikuti arus—bertanya, “Bu, kita punya target nggak tahun ini?” Pertanyaan itu menjadi titik balik. Semua mulai berpikir jauh ke depan. Mereka menyusun target jumlah kunjungan, menilai kinerja layanan, bahkan mulai membuat survei kepuasan pasien.

Satu tantangan besar muncul saat mereka menemukan bahwa keluhan pasien tidak pernah tercatat. Padahal, keluhan bisa menjadi bahan evaluasi penting. Maka dibentuklah sistem pelaporan keluhan dan disiapkan form sederhana. Tak lama setelah itu, mereka mendapati keluhan soal antrean lama. Dari situ, mereka ubah sistem registrasi menjadi online. Hasilnya? Antrean berkurang, dan pasien mulai merasa lebih dihargai.

Ketika hari akreditasi tiba, surveior cukup terkejut. “Saya pernah datang ke sini tiga tahun lalu,” katanya. “Dulu sangat tidak tertata. Tapi hari ini saya melihat perubahan besar.”

Klinik Melati dinyatakan terakreditasi madya, dan yang lebih penting: mereka kini punya sistem. Bu Rini tak lagi merasa sendirian. Setiap staf tahu peran dan arah kerja mereka. Klinik berjalan dengan visi bersama, bukan sekadar rutinitas tanpa arah.

Kini, Klinik Melati bukan hanya klinik kecil yang ‘jalan’, tapi klinik yang tumbuh, terstruktur, dan siap berkembang.

Pelajaran dari Klinik Melati

Tata kelola organisasi bukan sekadar urusan struktur dan dokumen. Ia tentang kesadaran kolektif untuk membangun sistem yang jelas, kepemimpinan yang hadir, dan budaya kerja yang terarah. Tanpa itu, pelayanan akan selalu berada di jalur darurat—selalu memadamkan api, tanpa sempat membangun rumahnya.

Add new comment

CAPTCHA
This question is for testing whether or not you are a human visitor and to prevent automated spam submissions.
12 + 4 =
Solve this simple math problem and enter the result. E.g. for 1+3, enter 4.