Pengalaman Pendampingan Standar Akreditasi Pelayanan Kefarmasian dan Penggunaan Obat (PKPO)
Saya masih ingat jelas ketika pertama kali mendapat telepon dari Direktur Rumah Sakit X, sebuah rumah sakit tipe C di daerah penyangga kota besar. Nada suaranya waktu itu terdengar cemas. "Kami sudah masuk tahap persiapan akreditasi, Bu... tapi untuk standar pelayanan kefarmasian dan penggunaan obat, kami benar-benar butuh pendampingan. Takut ada yang luput," katanya.
Saat saya datang, saya langsung menyadari bahwa masalahnya lebih dalam dari sekadar kurangnya dokumen atau belum adanya regulasi. Saya berjalan menyusuri apotek rumah sakit, melihat tumpukan obat yang belum diklasifikasikan dengan baik, serta sistem pelaporan efek samping obat yang masih dilakukan secara manual dan tidak terdokumentasi dengan rapi. Lebih jauh lagi, saya menemukan bahwa komite P&T (Pharmacy & Therapeutics) belum aktif berjalan selama lebih dari setahun.
Namun, hal yang paling membuat saya khawatir adalah ketika saya duduk bersama kepala instalasi farmasi dan ia berkata lirih, "Kami ini sering dianggap hanya tempat menyimpan obat, Bu. Padahal kami ingin sekali dilibatkan lebih jauh."
Itu menjadi titik awal. Saya tahu bahwa pendampingan saya tidak boleh hanya fokus pada pemenuhan standar akreditasi, tapi juga harus memulihkan peran farmasi sebagai bagian inti dari pelayanan klinis rumah sakit.
Kami mulai dengan satu hal kecil namun fundamental: membentuk ulang tim P&T. Saya tidak memilih orang berdasarkan jabatan, tetapi berdasarkan komitmen. Saya duduk bersama dokter, perawat, dan tim farmasi, membuka diskusi tentang pola penggunaan antibiotik yang tidak rasional dan angka kejadian reaksi obat yang tidak tercatat secara sistematis. Salah satu dokter spesialis sempat menolak mentah-mentah rekomendasi pembatasan antibiotik esensial. Katanya, “Saya tahu apa yang terbaik untuk pasien saya.” Itu kalimat yang cukup tajam.
Namun saya tidak menjawab dengan debat. Saya menjawab dengan data. Saya tunjukkan tren penggunaan meropenem selama enam bulan terakhir yang meningkat drastis, tanpa disertai justifikasi rasional. Saya tunjukkan pula satu kasus resistensi yang tidak ditindaklanjuti. Perlahan, resistensi itu luntur—bukan karena saya sebagai konsultan, tetapi karena kami menyatukan kembali para profesional dalam semangat bersama: keselamatan pasien.
Dalam dua bulan, tim PKPO mulai solid. Kami buat sistem pelaporan efek samping obat yang terintegrasi ke dalam rekam medis. SOP untuk high-alert medication disusun dengan simulasi lintas profesi. Bahkan ada satu momen yang membuat saya terharu—ketika seorang perawat datang sendiri ke instalasi farmasi untuk mendiskusikan dosis ganda yang terdeteksi di rekam medis. Sebuah refleksi bahwa budaya keselamatan mulai tumbuh.
Menjelang hari survei, saya menyempatkan diri duduk di lorong apotek. Kepala instalasi farmasi menghampiri saya dengan wajah lega. “Kami tidak sekadar lulus, Bu. Tapi sekarang kami dihargai. Kami punya suara.”
Ketika tim surveior datang dan bertanya tentang evaluasi penggunaan obat, kepala farmasi menjawab sambil membuka dashboard pelaporan dan menunjukkan tindak lanjutnya. Tak ada keraguan. Tak ada naskah hafalan. Hanya keyakinan bahwa mereka melakukan yang benar. Dan saya berdiri di belakang, hanya tersenyum.
PT. Ligar Mandiri Indonesia
Perum Pondok Pakulonan
Blok H6 No. 7 Alam Sutera Tangerang Selatan
HP.
0857 1600 0879
Email : Bpcreator02@gmail.com
© 2025 - Ligar Mandiri Consulting - Menuju Rumah Sakit Kelas Dunia
Add new comment