Pengalaman menjadi konsultan pendamping akreditasi Bab Manajemen Komunikasi dan Edukasi (MKE)
Di sebuah rumah sakit swasta tipe B yang cukup besar di pinggiran kota, saya diminta untuk mendampingi mereka dalam persiapan akreditasi. Fokus utama saya waktu itu adalah pada bab yang sering kali dianggap "mudah", tapi justru kerap dilewatkan substansinya: Manajemen Komunikasi dan Edukasi atau MKE.
Saat pertama saya berdiskusi dengan tim mutu, mereka bilang dengan yakin, “Untuk MKE sih, tinggal tunjukkan saja leaflet edukasi pasien, dokumentasi komunikasi efektif, dan bukti pelatihan.” Saya hanya mengangguk waktu itu, tapi hati saya berkata lain—saya sudah sering melihat MKE terjebak jadi urusan kertas semata.
Kecurigaan saya terbukti tak lama kemudian, saat saya mulai melakukan simulasi tracer. Di ruang rawat inap, saya mewawancarai seorang pasien pasca-operasi. Saya tanya apakah ia sudah menerima edukasi tentang perawatan luka di rumah. Pasien itu menjawab, “Oh, iya, katanya nanti disampaikan. Tapi saya belum tahu, harusnya saya boleh mandi kapan, atau kalau plesternya basah gimana.” Saat saya cek dokumennya, edukasi sudah dicentang lengkap.
Itulah saat saya tahu: yang kami hadapi bukan hanya persoalan teknis, tapi juga soal pemahaman mendasar tentang apa itu komunikasi efektif.
Saya undang perwakilan perawat, dokter, dan farmasi untuk duduk bersama. Awalnya, diskusi berjalan datar. Semua merasa sudah “melakukan”. Tapi ketika saya putar ulang rekaman simulasi edukasi pasien yang sempat kami dokumentasikan—dan menunjuk satu bagian di mana perawat hanya membaca poin-poin edukasi dengan cepat tanpa memastikan pemahaman pasien—ruangan mendadak hening.
Saya berkata pelan, “MKE bukan tentang bicara. Tapi tentang memastikan bahwa informasi yang kita berikan sampai dan dipahami.”
Tantangan lainnya datang dari para dokter. Beberapa menganggap form komunikasi antar profesi sebagai beban tambahan. “Kalau urgent, saya langsung WA perawatnya. Lebih cepat,” kata seorang dokter senior. Saya pahami maksudnya, tapi saya ajak dia berpikir lebih jauh: “Apa yang terjadi kalau Anda libur, dan pasien ini mengalami perubahan kondisi? Tanpa dokumentasi yang tertelusur, siapa yang bertanggung jawab?”
Itu membuka ruang diskusi yang lebih dalam. Kami mulai membangun ulang budaya komunikasi dengan pendekatan lintas fungsi. Edukasi pasien tidak lagi dilakukan terburu-buru saat jam pulang, tapi disisipkan dalam setiap momen perawatan. Tim IT rumah sakit juga dilibatkan untuk membuat sistem dokumentasi edukasi yang tidak hanya mencatat apa yang disampaikan, tapi juga bagaimana pemahaman pasien diukur.
Salah satu momen yang saya kenang adalah saat seorang perawat senior mendekati saya setelah sesi pelatihan komunikasi efektif. Ia bilang, “Ternyata, komunikasi itu bukan soal pintar ngomong ya, Bu. Tapi soal tahu kapan harus dengar.” Kalimat itu membekas di benak saya sampai sekarang.
Menjelang hari survei, kami mengadakan simulasi penuh. Tim medis dan keperawatan tampak lebih percaya diri. Dan saat surveior menelusuri jejak edukasi pasien dari ruang IGD ke rawat inap hingga ke discharge planning, semua alur terbaca jelas—bukan hanya di atas kertas, tapi juga dalam tindakan nyata. Dan saya berdiri di sudut ruangan, menyadari bahwa perubahan tidak selalu harus dimulai dari sistem besar. Kadang, perubahan itu lahir dari satu percakapan yang tulus—dan komunikasi yang benar-benar bermakna.
PT. Ligar Mandiri Indonesia
Perum Pondok Pakulonan
Blok H6 No. 7 Alam Sutera Tangerang Selatan
HP.
0857 1600 0879
Email : Bpcreator02@gmail.com
© 2025 - Ligar Mandiri Consulting - Menuju Rumah Sakit Kelas Dunia
Add new comment