Pendampingan.standar akreditasi bab Pelayanan dan Asuhan Pasien (PAP)

Saat pertama kali saya diminta mendampingi sebuah rumah sakit dalam proses persiapan akreditasi, saya datang dengan semangat dan harapan besar. Rumah sakit ini cukup besar dan sudah lama beroperasi, tetapi belum pernah berhasil melewati akreditasi secara tuntas. Saya tahu bahwa pekerjaan ini tidak akan mudah—namun saya tidak menyangka bahwa tantangan terbesarnya bukan pada sistem, melainkan pada manusianya.

Pada minggu pertama, saya mulai melakukan asesmen awal. Saya berbicara dengan tim mutu, kepala ruangan, dan beberapa dokter. Saya mengamati alur pelayanan dan mengevaluasi dokumen. Secara teknis, permasalahan mereka sebenarnya bisa diurai: SOP tidak terintegrasi, komunikasi tim medis dan keperawatan tidak efektif, serta belum ada sistem monitoring PAP yang benar-benar berjalan. Saya mulai menyusun strategi pendampingan yang sistematis dan menyeluruh.

Namun, sejak awal, saya merasakan adanya resistensi. Seorang dokter senior, kepala dari salah satu departemen, tampak enggan berkolaborasi. Ia sering menghindar dari pertemuan, dan ketika hadir pun, sikapnya defensif. “Kami sudah punya cara kerja sendiri sejak lama. Kami tahu apa yang terbaik untuk pasien kami,” ujarnya saat saya mencoba menjelaskan pentingnya continuity of care dalam PAP. Kalimat itu diucapkan bukan dengan semangat berdiskusi, tetapi sebagai peringatan agar saya tidak “terlalu ikut campur.”

Konflik tidak berhenti di situ. Beberapa perawat merasa bahwa pendampingan ini menambah beban kerja mereka. Mereka mengeluh bahwa harus mengisi banyak formulir baru, menghadiri pelatihan, dan melakukan pencatatan yang belum pernah mereka lakukan sebelumnya. “Kami sibuk di lapangan, Bu. Pasien banyak, dan sekarang kami malah disuruh urus kertas-kertas,” kata seorang perawat IGD dengan wajah lelah.

Dalam rapat koordinasi, ketegangan memuncak. Tim mutu—yang sebenarnya antusias dengan perubahan—mulai kehilangan motivasi karena merasa tidak didukung. Mereka terjebak di antara kebijakan manajemen, tekanan dari tenaga medis, dan instruksi saya sebagai konsultan. Saya tahu jika saya terus mendorong terlalu keras, proses ini bisa gagal total.

Saya mengambil jeda. Mengatur ulang strategi. Saya mendekati permasalahan bukan dari sisi teknis dulu, tapi dari sisi relasional. Saya mulai mengadakan diskusi kecil, bukan rapat besar. Saya ajak perawat dan dokter bercerita tentang pasien yang mereka tangani—dan dari sana, pelan-pelan, saya arahkan obrolan ke bagaimana pelayanan bisa ditingkatkan dengan pendekatan PAP yang tepat. Saya sampaikan bahwa bukan tentang formulir atau akreditasi semata, tapi tentang bagaimana pasien bisa merasa lebih aman, lebih diperhatikan, dan lebih cepat pulih.

Perlahan, terjadi perubahan. Beberapa perawat mulai menyadari bahwa pencatatan yang baik membantu mereka melanjutkan perawatan secara lebih efektif. Dokter-dokter muda mulai terbuka dan bahkan meminta pelatihan lanjutan. Kepala ruangan yang awalnya pasif kini mulai menyiapkan dashboard sederhana untuk monitoring mutu. Tapi saya tahu, itu bukan karena pendekatan teknis saya yang hebat—melainkan karena saya akhirnya belajar mendengarkan, dan membiarkan mereka menjadi bagian dari solusi, bukan sekadar objek perubahan.

Akhirnya, akreditasi itu tercapai. Tapi yang lebih penting, budaya pelayanan mulai bergeser. Konflik memang tak sepenuhnya hilang, tapi kini berubah bentuk menjadi dinamika kritis yang membangun. Saya belajar bahwa mendampingi bukan berarti memaksakan standar, melainkan membantu orang-orang memahami makna di balik standar itu sendiri—dan menemukan cara mereka sendiri untuk mencapainya.

Add new comment

CAPTCHA
This question is for testing whether or not you are a human visitor and to prevent automated spam submissions.
5 + 1 =
Solve this simple math problem and enter the result. E.g. for 1+3, enter 4.