Pemukulan Satpam oleh Pasien di IGD Rumah Sakit
Malam itu, lampu neon IGD Rumah Sakit X berkedip-kedip seperti biasa, memancarkan cahaya dingin yang kontras dengan kepanikan yang menyelimuti ruangan. Bau antiseptik bercampur dengan aroma keringat dan darah. Suara langkah cepat, rintihan pasien, dan teriakan petugas medis saling bersahutan. Di tengah keriuhan itu, Satpam Andi berdiri tegak di pintu masuk, matanya awas memindai setiap orang yang masuk.
Tugasnya sederhana: menjaga ketertiban. Tapi malam ini, ketertiban itu akan diuji.
---
*"Keluarkan dia! Sekarang juga!"*
Teriakan itu menggelegar dari dalam IGD. Seorang lelaki tinggi, wajahnya merah padam, tengah mengguncang bahagianya seorang perawat muda. Matanya berkaca-kaca, bau alkohol menyengat dari napasnya.
Andi segera melangkah mendekat. "Maaf, Pak. Tenang dulu. Perawat ini sedang bertugas—"
Tinju itu datang tiba-tiba.
*DOR!*
Andi terhuyung, bibirnya pecah. Darah mengalir deras, tapi ia tetap berusaha menahan diri. "Tolong tenang, Pak. Kami bisa bicara baik-baik—"
*DOR!*
Kali ini, pukulan mendarat di pelipisnya. Andi terjatuh, kepalanya membentur lantai keramik. Suara ribut sekelilingnya tiba-tiba menjadi sayup, seperti teredam air. Ia masih melihat bayangan lelaki itu mengangkat kursi, wajahnya penuh amarah yang tak terkendali.
"Dasar satpam kurang ajar! Anakku butuh dokter sekarang, bukan antrian!"
---
Di ruang observasi, dr. Ranti menatap lelaki itu dengan dingin. "Kami sedang berusaha menolong semua pasien, termasuk anak Bapak. Tapi kekerasan tidak akan mempercepat apa pun."
"Dia cuma satpam! Apa haknya melarang aku masuk?!" bentak lelaki itu, masih menggenggam kursi.
Beberapa pengunjung IGD mulai merekam dengan ponsel. Suara berbisik menyebar: "Kasihan, satpamnya cuma kerja, kok dipukuli."
Tapi tak ada yang maju.
---
Andi terbangun di ruang gawat darurat, kepalanya dibalut perban. Seorang perawat membantunya duduk. "Luka di kepala cukup dalam, tapi tidak sampai gegar otak," katanya.
Di luar, suara sirene polisi menderu. Lelaki itu akhirnya diamankan—bukan karena memukul Andi, tapi karena ketahuan membawa narkoba di sakunya.
"Jadi, ini bukan tentang anaknya yang sakit," gumam Andi pelan.
---
Keesokan harinya, berita tentang pemukulan itu menyebar. Media ramai membahas: "Kekerasan di Rumah Sakit X: Satpam Jadi Korban Amuk Pengunjung."
Tapi di ruang kepala keamanan, tak ada yang datang menengok Andi kecuali rekan-rekannya sesama satpam.
"Sudah biasa, Bang," kata seorang satpam muda. "Kita cuma dianggap pagar hidup. Kalau ada masalah, kita yang jadi tameng. Kalau beres, ya dilupakan."
Andi menghela napas, mengusap perban di kepalanya.
Ia ingat wajah lelaki mabuk itu.
Ia juga ingat wajah anak lelaki itu—masih kecil, pucat, terbaring lemah di ranjang IGD.
Mungkin, di balik amarah sang ayah, ada ketakutan yang tak terungkap.
Mungkin, seperti dirinya yang terluka hari ini, ada banyak luka lain yang tak terlihat.
---
*"Rumah sakit mungkin tempat menyembuhkan luka fisik. Tapi luka akibat ketidaktahuan, kesombongan, dan ketidakpedulian—itu butuh lebih dari sekadar perban dan jahitan."*
Andi kembali berdiri di pintu IGD malam berikutnya, seragamnya masih sama, hanya sekarang dengan bekas luka di bibir dan kepala.
Ia tersenyum pada seorang ibu yang kebingungan membawa anaknya. "Silakan masuk, Bu. Perawat akan segera membantu."
Ia memilih untuk tidak membenci.
Karena di ruang gawat darurat ini, yang paling mereka butuhkan sebenarnya sama:
*belas kasih yang tak berbalut seragam.*
PT. Ligar Mandiri Indonesia
Perum Pondok Pakulonan
Blok H6 No. 7 Alam Sutera Tangerang Selatan
HP.
0857 1600 0879
Email : Bpcreator02@gmail.com
© 2025 - Ligar Mandiri Consulting - Menuju Rumah Sakit Kelas Dunia
Add new comment