Nyawa Pasien lebih penting daripada status akreditasi Rumah Sakit

Dinding rumah sakit itu masih memancarkan kesan megah, meski catnya mulai mengelupas di beberapa sudut. Lampu neon di lorong Bank Darah berkedip-kedip, seolah ikut merasakan kegelisahan yang menghinggapi Dr. Rina sejak pagi. Laporan audit itu terbuka di mejanya, halaman demi halaman seperti sayatan kecil yang perlahan menggerus keyakinannya.  

"Ini tidak boleh terjadi," bisiknya, jemarinya mengetuk-ngetuk meja kayu yang sudah usang.  

Tiga masalah utama. Tiga celah yang bisa meruntuhkan segalanya.  

Pertama, lemari pendingin. Mesin tua itu sudah seharusnya diganti dua tahun lalu, tapi anggaran selalu dialihkan untuk hal-hal yang lebih "terlihat" oleh direktur. Kedua, dokumen donor yang entah bagaimana terselip di antara tumpukan berkas lain—atau mungkin tidak pernah ditandatangani sejak awal. Ketiga, dua petugasnya yang belum mengikuti pelatihan, karena "sibuk" menjadi alasan yang terus diulang.  

Rina menarik napas dalam. Lima tahun RS Permata Bunda menyandang akreditasi Paripurna. Lima tahun mereka berbangga. Tapi sekarang?  

Rapat darurat digelar di ruang tengah yang sempit. Bau kopi kental menggantung di udara, bercampur dengan aroma ketegangan yang tak terucapkan.  

"Kita bisa atur ini," suara dr. Arif, sang direktur, memecah keheningan. "Auditor eksternal baru datang tiga bulan lagi. Kita perbaiki perlahan, tidak perlu terburu-buru melaporkan semuanya."  

Matanya tajam, penuh perhitungan. Rina mengenal itu—bukan pertimbangan medis, tapi pertimbangan bisnis.  

"Tidak bisa," Siska, manajer mutu, memotong. Suaranya tegas meski jemarinya gemetar memegang laporan. "Jika kita tutupi dan mereka menemukan ini saat inspeksi, konsekuensinya lebih berat. Dan bagaimana jika ada pasien yang—"  

"Pasien tidak akan tahu!" dr. Arif menyela. "Selama tidak ada yang komplain, selama darah yang diberikan tidak menimbulkan masalah, untuk apa kita mempersulit diri?"  

Rina memandang ke jendela. Di luar, seorang perempuan muda duduk di kursi roda, lengan terbalut perban, menunggu kantong darah untuk anaknya yang baru saja dioperasi.  

Malam itu, Rina tidak pulang. Ia duduk di ruang penyimpanan darah, mendengarkan dengung lemari pendingin yang kadang bekerja, kadang tidak. Ia ingat wajah ibu itu. Ia juga ingat laporan insiden setahun lalu—seorang pasien demam tinggi setelah transfusi, tapi saat itu semua dokumen dinyatakan "lengkap".  

Apakah darah itu disimpan dalam suhu yang salah?  
Apakah petugas yang menanganinya benar-benar terlatih?  

Tidak ada yang bisa memastikan.  

"Kita harus jujur," kata Rina keesokan harinya, di hadapan dr. Arif yang wajahnya langsung berubah merah.  

"Kamu tidak paham tekanan yang kuhadapi!" teriaknya. "Jika akreditasi kita turun, investor bisa menarik dana. Pasien bisa lari ke rumah sakit lain!"  

Tapi Rina sudah lelah dengan bisikan-bisikan ketakutan. "Lebih baik kehilangan bintang akreditasi daripada kehilangan nyawa karena kita tidak berani mengakui kesalahan."  

Enam bulan kemudian, ketika tim akreditasi akhirnya datang, mereka menemukan catatan-catatan baru di Bank Darah: lemari pendingin baru, pelatihan staf yang tercatat rapi, dan—yang paling penting—sebuah laporan terbuka tentang semua ketidaksesuaian yang pernah terjadi.  

Ketika sertifikat akreditasi turun ke level Madya, seluruh staf diam. Tapi di ruang gawat darurat, seorang perawat tersenyum kecil saat melihat suhu kantong darah yang baru saja dikeluarkan—6°C, sempurna.  

Dan di sudut yang sunyi, Rina menarik napas lega.  

Ia mungkin kehilangan satu bintang.  
Tapi malam ini, seorang anak kecil di ruang perawatan bisa tidur tanpa demam. "Terkadang, standar tertinggi bukanlah yang tercetak di atas kertas akreditasi—melainkan yang tidak tertulis: ketika kita memilih untuk tidak berdiam diri, meski harus membayarnya dengan harga yang mahal."

Add new comment

CAPTCHA
This question is for testing whether or not you are a human visitor and to prevent automated spam submissions.
6 + 7 =
Solve this simple math problem and enter the result. E.g. for 1+3, enter 4.