"Insiden tindakan resusitasi di sebuah Rumah Sakit"

Pagi itu di Rumah Sakit X terlihat seperti hari biasa. Para perawat sibuk dengan ronde medis, dokter residen mengecek pasien, dan suara mesin infus berbunyi ritmis di koridor. Namun, di balik rutinitas yang terlihat tertib, ada satu hal yang sering kali luput dari perhatian—kesiapan tim dalam menangani kegawatan, terutama situasi resusitasi.  

*Insiden yang Mengguncang*  

Bu Sari, seorang pasien berusia 62 tahun dengan riwayat diabetes dan hipertensi, tiba-tiba terjatuh di depan ruang rawat inap. Ia tidak responsif, nadi tidak teraba. Perawat yang melihatnya segera memanggil bantuan, tetapi respons tim berjalan lambat. Defibrillator tidak segera ditemukan, tim resusitasi tidak sepenuhnya siap, dan tidak ada dokter yang langsung mengambil alih sebagai team leader. Beberapa menit kritis terbuang dalam kebingungan.  

Ketika akhirnya upaya resusitasi dimulai, kekacauan terjadi. Kompresi dada tidak konsisten, pemberian oksigen tertunda, dan tidak ada yang mencatat waktu pemberian obat. Dokter jaga yang datang terlambat mencoba mengkoordinir, tetapi tanpa pelatihan yang memadai, instruksinya tidak jelas. Setelah 25 menit berusaha, Bu Sari dinyatakan meninggal.  

*Refleksi Pasca-Insiden*  

Kejadian itu menjadi tamparan keras bagi RS X. Dalam rapat evaluasi, terungkap bahwa banyak standar akreditasi yang tidak terpenuhi, terutama terkait **Standar Akreditasi Nasional (SNARS) edisi terbaru, yang mensyaratkan:  
- Ketersediaan tim resusitasi 24 jam dengan pelatihan rutin.  
- Alat emergensi (crash cart) yang lengkap, mudah diakses, dan diperiksa setiap shift.  
- Pembagian peran yang jelas(team leader, compressor, pemberi obat, dokumentasi).  
- Dokumentasi lengkap untuk evaluasi dan pembelajaran.  

*Perubahan yang Dilakukan*  

RS X kemudian melakukan transformasi besar-besaran:  
1. Pelatihan rutin untuk seluruh staf, termasuk simulasi resusitasi bulanan.  
2. Penempatan crash cart dengan checklist harian di setiap lantai.  
3. Pembentukan tim kode biru yang siap siaga setiap saat.  
4. Penerapan SOP resusitasi dengan alur komunikasi yang jelas.  

*Hasil yang Dirasakan*  

Beberapa bulan kemudian, ketika seorang pasien muda mengalami henti jantung di IGD, semuanya berjalan berbeda. Alarm kode biru berbunyi, dan dalam hitungan detik, tim sudah berkumpul. Dokter senior mengambil alih sebagai leader, perawat melakukan kompresi dengan ritme tepat, defibrillator siap digunakan, dan obat-obatan diberikan sesuai protokol.  

"Lanjutkan kompresi! Siapkan epinefrin! Clear—shock diberikan!"  

Kali ini, pasien berhasil diselamatkan.  

*Pelajaran yang Diambil*  

Insiden Bu Sari menjadi pengingat pahit bahwa dalam dunia medis, kesiapan bukanlah sesuatu yang bisa ditawar. Standar akreditasi bukan sekadar formalitas, melainkan panduan yang menyelamatkan nyawa. Di Rumah Sakit X, detik-detik penentu itu tidak lagi dianggap remeh. Setiap detik diperhitungkan, setiap gerakan dilatih, dan setiap nyawa diperjuangkan sampai akhir.  

Kini, RS X tidak hanya memenuhi standar, tetapi berkomitmen untuk melampauinya—karena mereka tahu, di balik setiap protokol yang ketat, ada keluarga yang menunggu orang tercinta mereka pulang.

Add new comment

CAPTCHA
This question is for testing whether or not you are a human visitor and to prevent automated spam submissions.
16 + 1 =
Solve this simple math problem and enter the result. E.g. for 1+3, enter 4.